Ditulis Oleh: Irse Wilis
Beberapa kasus diantaranya seperti masalah LGBT dimana terdapat dua sudut pandang yang saling bertolak belakang; bagi kaum LGBT hal ini adalah normal, tapi bagi kaum awam religius fanatik dan awam pada umumnya, LGBT itu adalah penyakit dan penyimpangan. Untuk lebih dalam mengenai pembahasan topik ini bisa dilihat pada artikel lainnya, namun disini yang mau saya sampaikan adalah bahwa nilai kebenaran subjektif peningkatannya sudah sangat tinggi.
Kasus lainnya seperti masalah aborsi, dimana dunia medis menghalalkan tindakan aborsi pada situasi dan kondisi tertentu sementara gereja Katolik melarang dengan tegas. Kasus lain yang lebih sederhana adalah kasus permohonan maaf Mulan Jameela kepada Maia Estianti yang sangat kontroversial. Sebagian orang akan mengklaim tindakan Mulan adalah salah, sebagian akan mendukung tindakan Mulan, yang terlihat di publik adalah kebenaran subjektif yang sangat menghakimi dalam sebuah kasus.
Di dalam keluarga sendiri, bisa juga terjadi perselisihan akibat kebenaran subjektif ini; sebagai contoh seorang anak yang meminta izin bermain video game sesaat setelah selesai makan malam. Ibu, akan melarang keras anak tersebut untuk bermain video game berhubung besok akan ujian, sementara ayah memperbolehkan anak tersebut bermain video game dengan catatan memiliki batas waktu misalnya setengah jam aja; karena jika di paksa belajar terlalu keras maka anakpun bisa bosan, jenuh dan besoknya bakalan lupa semua yang telah dipelajari lantaran terlalu keras dalam belajar. Apa yang dianggap baik oleh ibu, belum tentu baik bagi anak, demikian juga apa yang dianggap baik oleh ayah belum tentu baik bagi anak; anak otomatis akan mengiyakan pendapat ayah yang sejalan dengan keinginannya, dan apakah ini benar?!
Sebagai seorang ibu yang tau akan kebutuhan dan kondisi anak pasti akan merasa bahwa pendapatnya adalah benar sementara ayah yang jarang di rumah dianggap tidak tau kebutuhan dan kondisi anak, dan tentu saja pendapatnya pasti salah demikian pikiran si ibu tersebut, apalagi jika dikaitkan dengan masa lalu ibu tersebut yang memang anak rumahan, kutu buku dan suka belajar. Disini kebenaran menurut ibu tersebut sangat bersifat subjektif karena didasari keinginannya untuk mengendalikan orang lain (anak) sesuai dengan latar belakang si ibu. Ibu menutup kehadiran hiburan di waktu belajar si anak, karena menganggap konsentrasi anak akan buyar ketika anak tersebut bermain game. Namun, jika dikaitkan dengan kondisi anak yang sudah jenuh belajar, hal ini tidaklah benar sehingga pendapat ibu tersebut termasuk kategori kebenaran subjektif.
Banyak hal seperti kasus di atas menjadi kebenaran relatif dan sangat membingungkan karena apa yang kita anggap baik dan benar, belum tentu baik dan benar menurut orang lain. Namun sebagai seorang Katolik yang telah dibaptis berarti sudah mengikat diri dengan hukum dan tradisi gereja Katolik. Hendaknya setiap orang Katolik mencerminkan kekatolikannya dalam bersikap sehingga kebingungan itu tidak sampai menggoyahkan iman. Karena kebenaran relatif yang bersumber dari kebenaran subjektif dapat membuat kita menyimpang dari iman kita.
Sebagai contoh, ketika bertemu kasus pelecehan seksual dengan korban utamanya wanita dan ternyata hamil, jika kita berada pada sisi kemanusiaan, empati yang kita rasakan bisa saja membenarkan tindakan aborsi yang dilakukan oleh wanita yang mengalami pelecehan seksual tersebut. Karena dari sisi medis sendiri sudah memiliki syarat-syarat aborsi yang dilegalkan, jadi kalau sebagai seorang katolik yang tidak mengerti hukum gereja katolik, maka tindakan aborsi tersebut bisa menjadi kebenaran subjektif dan berakhir pada kebenaran relatif; yang pada akhirnya membuat seorang Katolik menyimpang dari iman yang diyakininya.
Di gereja Katolik hukum tentang seksualitas sangat tegas dan jelas. Walaupun banyak perdebatan panjang tentang beberapa hukum gereja Katolik misalkan aborsi, perkawinan, seksualitas (kb alamiah), dll; namun apa yang ditetapkan gereja Katolik adalah bersifat de facto. Seorang Katolik harus menerapkan hukum kanonik dengan sadar dan waras, artinya tidak berdasarkan perasaan-perasaan tertentu yang berhubungan dengan kasus tertentu. Karena ketaatan terhadap pemimpin tertinggi gereja Katolik merupakan ketaatan terhadap Kristus sendiri, seperti ada tertulis dalam Matius 16:18 : ”Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaatKu dan alam maut tidak akan menguasainya”. Dan Perlu diingat kembali bahwa Pemimpin tertinggi gereja Katolik adalah penerus rasul Petrus.
Jadi, kebenaran relatif dengan kebenaran subjektif sangat berkaitan erat karena yang membuat manusia merasakan kebenaran relatif adalah karena dia berada dalam kebenaran subjektif yang keluar dari hakikatnya sebagai umat Katolik. Sikap menghakimi dalam kebenaran subjektif sangat bertentangan dengan Firman Tuhan yang mengharuskan kita untuk saling mengasihi satu sama lainnya sebagai wujud kasih kepada Tuhan. Yohanes 13:34: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi”.
Untuk itu, apabila kita menginginkan kebahagiaan dalam hidup ini, hendaknya kita berlaku sesuai dengan kodrat sebagai manusia yang memancarkan keilahian Sang Pencipta, dan jangan sampai jatuh ke dalam kebenaran relatif, yang dapat membuat diri kita jauh dari kebahagiaan yaitu jauh dari Tuhan sang sumber kebahagiaan sejati di dalam hidup ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar