Kisah Tamparan Pertamaku

Ditulis Oleh: Irse Wilis
 
Siang ini, ditemani hujan gerimis yang tak diundang dan udara sejuk yang menggoda, aku teringat sebuah kisah lama, yang terjadi pada suatu pagi di kelas 2A di salah satu Sekolah Menengah Pertama di kampungku, tempatku menuntut ilmu. Di pagi itu, sifat kepoku tak terbendung dan aku menjadi radio yang terus berbunyi di sepanjang jam pelajaran sejarah yang sedang berlangsung.

Aku dan teman baikku terlalu asik bercerita sampai tak sadar akan sorot mata pak guru yang sedang mengamatiku. Tiba-tiba sebuah kapur tulis mendarat tepat di kepalaku dan langsung menghentikan obrolan kami saat itu. Tiba-tiba darahku berdesir seperti baru selesai lomba lari. Dan tidak memerlukan waktu yang lama, aku segera di panggil ke depan kelas lantaran terlalu ribut dan mengganggu jam pelajaran tersebut. Sakitnya sih gak seberapa, tapi malunya itu loh...banget deh!. 

Aku mulai berdiri seperti orang bego di depan kelas, tak sanggup menatap wajah teman-teman yang sudah mulai memperhatikanku dan tak segan untuk menertawakanku. Tidak lama kemudian, setelah aku berdiri manis di depan kelas, teman baikku ke luar ruangan dengan alasan mau ke kamar mandi. Sesampainya di luar kelas, dengan bahasa tubuhnya dia mulai mengkode aku. Katanya: “Kasihan deh lu”, sambil menjulurkan lidah dan tertawa cekikikan. Aku yang gak tau diri (gak sadar sedang dihukum dan berada di depan kelas) terlalu terburu-buru menanggapi omongannya yang mengejek tersebut, lantas menanggapinya dengan bahasa tubuh yang hendak menjotos dia di saat jam istrahat nanti. Gerakan tubuhku di depan kelas tersebut, sontak menarik perhatian guru yang sedang mengajar di jam tersebut. Dia mendekatiku dan Plaaak...! sebuah tamparan keras mendarat di pipiku, membuat kulit pipiku menjadi merah merona seperti terkena blush on.

Aku yang merasa tak berdosa mulai terisak-isak di depan kelas disaksikan oleh teman-teman yang lain. Sebelum melanjutkan pengajarannya, pak guru sejarah itu menjelaskan dengan bijaksana mengapa dia menamparku saat itu. Aku yang penuh dengan amarah dan kesedihan tidak dapat menerima alasan apapun yang disampaikan oleh guru tersebut, dan berniat untuk melaporkan kejadian itu kepada Bapakku; dengan harapan guru tersebut mendapat teguran dari kepala sekolah terkait tindakan kekerasan yang dilakukannya padaku.

Aku tak bisa menghentikan air mataku dan masih terus menangis, lantaran ini adalah tamparan pertama yang mendarat di pipiku. Saat jam istrahat berdentang, aku masih harus menghadap Pak Guru di ruangan guru tempat markas besar para guru berkumpul. Aku diam seribu bahasa karena tidak menerima alasan apapun dari pak guru tersebut. Kejadian itu sungguh membekas dalam ingatanku dan membuatku selalu menjaga jarak dengan pak guru tersebut.

Teman baikku berusaha menghiburku dan menenangkanku yang ku balas dengan rajukan seolah-olah semua yang terjadi adalah karena kesalahannya. Di sisa akhir jam pelajaran pada hari itu, ku lewati dengan berdiam diri dan berpikir cara membalas dendam ke guru tersebut.

Tapi, dasar masih polos dan takut akan nilai jelek (takut nilai terancam ketika melaporkan guru tersebut) maka niatku untuk melapor ke Bapakku, batal ku laksanakan. Aku menyimpan kisah ini dan menikmati sendiri akibat ulah bodohku yang menjadi penyiar radio di saat jam pelajaran berlangsung.

Masa sekolah penuh dengan kenangan indah, walaupun kisah ini merupakan kejadian buruk bagiku namun, aku  mendapat suatu pelajaran berharga yaitu harus mampu menahan diri untuk tidak ribut dan menjadi pendengar yang baik, ketika guru sedang bercerita di depan kelas sekalipun dia adalah guru yang sangat membosankan. Daripada kena tamparan lagi...lebih baik aku belajar diam dan menghargai keberadaan orang lain terutama dia yang lebih tua dari aku.

Buat kamu yang suka ngomong tanpa kenal waktu, tempat dan keberadaan orang lain, hati-hatilah jangan sampai kena tamparan seperti yang pernah aku alami. Semua ada waktunya, termasuk ngomong tuh ada waktunya juga; jadi marilah belajar untuk menahan diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar