Dalam tulisan saya sebelumnya, saya banyak menuliskan tentang cinta objektif, kira-kira apa sih yg dimaksud dengan cinta objektif?
Waktu saya remaja, saya pernah mengalami kisah cinta yang menggebu-gebu; saya ingat betul ketika pertama sekali menyukai seseorang, rasanya sangat bahagia, sangat indah, sangat mendebarkan. Saat itu, saya tidak pernah tau tentang teologi tubuh. Tidak pernah tau tahapan dalam suatu hubungan, sehingga semuanya mengalir seperti air yang mengalir.
Tahun 2000 saat itu teknologi hp masih tidak secanggih saat ini. Dalam berpacaran, kami biasanya bersms dan pada akhirnya ketika sms tidak cukup memuaskan saya, maka kami memutuskan untuk bertemu langsung. Awalnya, pertemuan itu seminggu sekali, dan ketika perasaan cinta sudah semakin dalam, pertemuan kami menjadi lebih intens bahkan menjadi setiap hari. Yang awalnya di tempat terbuka tapi akhirnya menjadi ke tempat yang lebih private yang bisa menjamin privasi antara saya dan pacar saya.
Saat itu, saya tidak pernah menghadirkan Kristus dalam hubungan kami. Semuanya berjalan seperti kisah remaja pada umumnya. Di saat remaja itu, saya pun merasakan gejolak masa puber yang bisa mendorong ke tindakan free sex. Masa remaja adalah masa yang penuh godaan yang dapat menjerumuskan ke tindakan dosa. Contoh dorongan seksual ketika tidak terkendali pasti akan mendatangkan dosa dan celaka yang bisa merusak masa depan saya.
Bisa dibayangkan kan..?! Kalau sempat free sex dan hamil..gimana dengan sekolah saya? Otomatis bakal putus di tengah jalan. Dan lagi, umur 15 tahun, dapat dipastikan tidak akan sanggup mengarungi bahtera rumah tangga; karena belum adanya persiapan lahir dan batin. Karena pernikahan tidak hanya mengandung hak, melainkan ada tanggung jawab yang besar untuk menjadi seorang istri dan ibu.
Cinta remaja saya, sarat dengan cinta objektif. Saya melihat pasangan secara objek yang harusnya melengkapi kekurangan saya. Makanya setelah pacaran, setelah tau sifat aslinya dan ternyata tidak bisa mengimbangi kekurangan saya yang emosional, pertengkaran menjadi menu setiap hari yang membuat prestasi saya di sekolah jadi ikut merosot.
Pasangan saya menjadi tokoh yang sangat saya idolakan. Lebih penting dari keluarga, makanya di masa awal pacaran, sering sekali saya tidak ikutan acara keluarga lantaran ingin hangout bareng pacar. Sikap ini beneran salah dan malah membuat saya menjadi seorang yang asing di keluarga dan membuat saya kecanduan dengan pacar saya. Kalau kecanduan untuk berprestasi dan menjadi lebih baik sih bagus, tapi kenyataannya malah kecanduannya dalam hal yang buruk, hanya ingin bersama, berdua, bercengkerama dan melakukan hal menyenangkan lainnya.
Perasaan tidak bisa hidup bersama pacar kerap membuat saya depresi. Kebetulan orangtua mengharuskan pacaran dengan orang yang satu suku, sementara pacar saya itu bertolakbelakang dengan kriteria yang ditetapkan oleh orangtua saya. Bayangkan betapa tertekannya saya menjalani cinta yang sembunyi-sembunyi ini. Saya menganggap pacar saya sebagai objek terpenting dalam hidup saya, sehingga ketika dia lebih memilih acara dengan teman-temannya, pertengkaran kerap mewarnai hubungan kami.
Cinta objektif tidak membuat saya bahagia. Awal pacaran emang terasa indah banget, tapi setelah itu akan menjadi sesuatu yang sangat mengesalkan dan mengecewakan. Karena banyak harapan yang tidak sesuai ekspetasi. Cinta objektif dapat diartikan sebagai perasaan yang mengikat dengan seseorang dimana orang tersebut dianggap sebagai sebuah objek. Objek itu adalah target, sesuatu yang tidak hidup, sesuatu yang mati. Cinta objektif tidak akan berbuah karena mencintai benda mati tidak akan menghasilkan apa-apa.
Cinta objektif bisa berbentuk: hasrat ingin memiliki pasangan dengan menghalalkan tindakan-tindakan yg mengatasnamakan cinta seperti free sex, hasrat untuk menguasai pasangan karena memandang pasangan sebagai suatu objek yang mampu dikendalikan, diatur dan dijaga.
Cinta objektif tidak akan mampu menghadirkan Kristus karena ke"aku"an dalam hubungan ini sangat tinggi. Pasangan dianggap lebih penting dari Tuhan. Pasangan dianggap sebagai objek untuk memuaskan diri, berbeda dengan Kristus yang memberi diri karena cinta; dalam hubungan cinta objektif masing-masing orang akan menuntut diberi tanpa mau memberi.
Cinta objektif tidak akan mampu bertahan ketika badai melanda karena hubungan ini sarat tuntutan yang berhubungan dengan kebutuhan salah satu pihak. Sehingga ketika konflik terjadi, masing-masing atau salah satu pihak akan menjadi korbannya.
Cinta objektif sama seperti topeng yang menutup wajah buruk yang tersembunyi di belakang topeng tersebut. Sama seperti kenikmatan yang menghasilkan dosa yang mendatangkan celaka. Untuk itu, marilah kita merubah konsep objektifitas dalam melihat pasangan dalam sebuah hubungan dan lebih melihat pasangan sebagai subjek, sebagai sesuatu yang berharga yang memiliki arti dan nilai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar