Mengarungi Lautan Penderitaan

 Ditulis Oleh: Irse Wilis
 
Ada yang bilang, bahwa kehidupan ini adalah lautan penderitaan. Banyak orang yang telah bersaksi tentang kepahitan dan kesedihan yang telah dialaminya, seolah-olah hendak membenarkan bahwa kehidupan ini adalah lautan penderitaan yang tak terbatas. Sama seperti lautan yang luas yang ujungnya tak dapat dilihat; yang sangat luas dan dalam.

Jika hidup adalah penderitaan mungkin kita akan bertanya, mengapa kita tercipta kalau hanya untuk berada di dalam lautan penderitaan? Mengapa kita hidup hanya untuk merasakan penderitaan? Mengapa hidup ini terasa menjenuhkan dengan segala rutinitas dan kesibukannya seperti suatu batu besar yang harus kita pikul setiap hari?

Banyak diantara kita mungkin sudah pernah, atau sering berada dalam situasi depresi seperti ini. Saya adalah salah satunya yang sering mengalami hal ini. Namun mengalami hal ini, tidak membuat saya terus menerus tenggelam dalam lautan penderitaan di dunia ini.

Adalah benar, bahwa setiap dari kita terdiri dari latar belakang dan kisah kehidupan yang berbeda-beda. Benar bahwa tidak semua orang mempunyai kemampuan dan kapasitas untuk bertahan dalam menghadapi masa padang gurun dalam kehidupan ini. Namun, setiap orang memiliki akal budi untuk mengolah segala informasi dari kejadian yang dialaminya, untuk merefleksikan maksud dan tujuan semuanya itu.

Sejak Adam dan Hawa diusir keluar dari taman Eden, disaat itulah kehidupan manusia bagaikan lautan penderitaan. Karena manusia awal, telah memilih untuk keluar dari kasih Allah yang sejati. Manusia mengingkari kodratnya sebagai penerima cinta Tuhan. Manusia mengambil hak Tuhan untuk memberi cinta dan kehidupan pada manusia; sewaktu Hawa memakan buah terlarang yang merupakan bentuk pemberontakan manusia dimana manusia ingin menjadi seperti Allah. Akibat dosa, manusia diusir keluar dari kebahagiaan yang sepatutnya diterimanya, dan memasuki lautan penderitaan yang dimaksudkan untuk memurnikan manusia tersebut dan menyadari akan kodrat awalnya sebagai makhluk yang diciptakan untuk menerima cinta Tuhan.

Tapi pada kenyataannya, sampai sekarang sering terjadi bahwa manusia lebih memilih untuk menjadi seperti Allah dan bertolak belakang dengan kodratnya sebagai penerima cinta Allah. Manusia menjadi tuan atas sesamanya dan menganggap diri paling berkuasa, paling benar, paling pintar, paling kaya dibanding manusia lainnya. Manusia menjauhi cinta Tuhan dengan keegoisannya dan berjalan memasuki lautan penderitaan yang semakin dalam dan hampa.

Mungkin jika melihat mereka yang hidup berkelimpahan, sebagian orang akan menilai betapa enaknya menjadi seperti mereka. Benar sekali pepatah yang mengatakan bahwa rumput tetangga selalu lebih hijau, dimana hal ini membuat manusia jatuh ke dalam iri hati yang merusak kebahagiaannya sebagai pribadi yang sepatutnya berbahagia.

Banyak hal-hal yang menyeret manusia memasuki lautan penderitaan dan lupa menoleh ke belakang dimana dibelakang masih ada daratan. Masih ada harapan, untuk dapat bertahan hidup. Perjuangan diperlukan untuk merubah kondisi yang tidak menyenangkan tersebut. Tanpa tindakan nyata, maka manusia hanya seperti terombang ambing di atas lautan yang dalam, yang membuat hatinya dingin, dan jauh dari kasih.

Untuk itu, perlu untuk refleksikan diri, flashback dan menilai kembali jalan hidup yang telah kita lalui; apakah sudah berada pada jalur yang tepat atau justru banyak melenceng, sehingga membuat gesekan-gesekan dalam kehidupan rohani kita. Pertobatan di perlukan untuk mengampuni diri sendiri terlebih dahulu dan menyadari betul akan keterbatasan kita sebagai manusia yang sungguh terbatas. Tanpa cinta Tuhan, semua bagaikan gelas kosong yang tak ada isinya. Hampa dan hanya menjadi pajangan yang mewarnai dunia ini.

Setelah memaafkan diri sendiri dan mengisi diri dengan cinta Tuhan maka, berdamai dengan orang lain membuat gelas yang kosong tadi berisi setitik air yang bermanfaat untuk menyegarkan kehidupan rohani kita. Pengampunan terhadap sesama adalah hal yang teramat sulit dan hanya bisa dilakukan dengan rahmat Tuhan dan dengan kekuatan dari Tuhan. Tanpa keintiman dengan Tuhan sang Kekuatan sejati, sebagai manusia, kita sungguh tidak akan mampu melawan keinginan daging untuk mengingat kesalahan orang lain pada diri kita masing-masing. Hanya Tuhanlah yang mampu menguatkan kita dalam mengarungi lautan penderitaan di kehidupan kita saat ini.

Saya yang hidup sebatang kara sungguh merasa kasih Tuhan yang nyata membimbing dan melindungi anak yatim piatu. Dengan syarat: yang bersangkutan mau bersekutu dengan Allah. Tanpa berteman akrab dengan Dia, mana mungkin kita bisa merasakan kasihNya? Sama seperti jika kita berteman dengan manusia lainnya, kalau kita tidak akrab dengan seseorang gimana mau bersahabat dengan dia? Kalau uda menjadi sahabat, tentu hal-hal yang baik dari sahabat akan mampu kita rasakan dan kita kenali karna kita sudah lama berteman dengan dia. Dan sebagai sahabat pasti tidak akan membiarkan sahabatnya susah dan menderita sendiri. Pasti ada, tolong menolong dan saling mengasihi satu sama lainnya. Begitu pula hubungan saya dan Tuhan. Saya membangun keintiman denganNya lewat doa harian dan saat teduh untuk merenungkan dan menghayati FirmanNya. Hal itu sungguh menguatkan saya, meski saya berulang kali jatuh ke dalam kesalahan yang merusak persahabatan kami.

Tanpa komunikasi dengan Tuhan, dan tanpa membaca FirmanNya, bagaimana mau mengenali Dia sebagai Pribadi? Cinta itu timbul dari rasa mengenal dan kedekatan personal dengan yang dikasihi, dan hanya cintalah yang mampu membuat seseorang bertahan dalam komitmen yang telah mereka bangun bersama. Tanpa Cinta Tuhan, sebagai manusia yang lemah kita akan sangat sulit berjuang dalam lautan penderitaan di dunia ini.

Marilah menimba kekuatan lewat cinta Tuhan yang nyata dalam kehidupan kita sehari-hari agar kita mampu melewati lautan penderitaan yang tiada bertepi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar