Senin, 28 Maret 2016 -> Mengingat Kembali

Ditulis Oleh: Irse Wilis

Sebelas tahun yang lalu, di hari dan tanggal yang sama dengan hari ini; aku resmi menyandang status  sebagai seorang anak yatim piatu. Keluarga besarku pergi serentak meninggalkan aku dan adikku. Bencana gempa bumi yang menimpa tanah kelahiranku membuat kenangan yang mendalam sehingga tidak akan pernah terlupa akan tanggal 28 Maret ini.

Sebagai bagian dari kenangan yang menyedihkan, tentu hal ini tidak baik untuk diingat dan dijadikan sebagai luka batin. Namun, sebagai manusia yang memiliki ingatan dan pikiran adalah hal yang wajar jika mengingat terus akan tanggal ini, sebagai peringatan akan kematian mereka yang sudah pergi meninggalkanku. Kepergian keluarga besar adalah hal yang tidak pernah terbayangkan dan terlupakan. Namun begitulah kehidupan ini yang penuh dengan kejutan-kejutan yang mampu untuk mendewasakan diri, sebagai seorang manusia.

Masih teringat olehku; kejadian sebelas tahun yang lalu, dimana aku berusaha tegar dan dewasa menyikapi kesedihan ini; masih teringat olehku kata-kata yang ku ucapkan sendiri pada kakak sepupuku namun dibalas dengan perkataan: “kok lu gak merasa sedih? padahal mereka sudah meninggal?”. Kesedihan yang aku rasakan tentu sangat besar dan menyakitkan; namun tangisanku tidak sederas tangisannya, sehingga dia menilaiku seperti itu. Aku mengingat, sebelum mereka pergi dari dunia ini tepatnya saat misa di Klaris Gunungsitoli tahun 2004, aku pernah bertanya kepada almh.mama “gimana seandainya bangunan ini runtuh dan menimpa kita dan saat ini kita langsung meninggal dunia?”. Saat itu, posisi kami sedang berada di kapel, mengikuti misa dan sedang terjadi gempa. Mama dengan tenang dan santai menjawab: “ya kalau sudah saatnya pergi, maka pergi aja dan rasanya lebih bahagia kalau meninggal di dalam Rumah Tuhan”. Saat itu, aku tidak memiliki firasat apapun akan kepergian beliau di tahun depannya (2005).

Mama adalah sosok yang sangat menginspirasiku untuk dekat dengan Tuhan. Dia selalu berdoa setiap pagi di dekat balkon lantai 2 rumah kami, di dekat gua Maria kecil, yang dibangunnya menurut desainnya sendiri. Mama adalah seorang wanita yang tidak mengenyam pendidikan tinggi namun berhasil menjadi orang sukses dalam usaha yang digelutinya. Dia sungguh menunjukkan hubungan kedekatannya dengan Yesus, Tuhan yang kami sembah.

Mengingat mama membuat hatiku sangat yakin dengan agama yang ku anut sedari kecil. Mama memberi teladan dan contoh keindahan doa-doa dalam gereja Katolik yang terkesan kaku dan terlalu sistematis. Mama yang tidak pernah bosan berdoa, membuatku menjadi seorang yang mencintai doa sebagai ajang berkomunikasi dengan Tuhan secara pribadi. Sosoknya sungguh meninggalkan kenangan indah dalam hati dan pikiranku. Kepergiannya jelas sangat menyakiti hati dan perasaanku; dan kadang bisa terlintas dalam pikiranku bahwa Allah sungguh tidak adil karena memberikanku kesempatan yang sangat singkat untuk bersama-sama dengan mama. Padahal banyak rencana besar yang ingin ku lalui bersama mama, seperti membelikannya rumah di Medan, ziarah ke tanah suci, dan menemaninya selalu dalam doa lingkungan yang aktif diikutinya.

Tentu saja, pikiran tersebut jahat dan salah karena berasal dari si jahat, yang segera tertepis ketika aku sedang berdoa dalam kepasrahan minta tuntunan Tuhan; karena aku sungguh tidak tau hendak melangkah kemana lagi, karena orangtuaku telah pergi dari dunia ini, sehingga tidak ada lagi yang mengajariku dan membekaliku untuk menghadapi masa depan. Dan secara luar biasa selama sebelas tahun ini, Tuhan tidak pernah meninggalkanku; itulah alasan mengapa aku begitu mencintai Dia dan rela untuk menghabiskan hari-hariku bersama Dia dalam doa, saat teduh, perkumpulan dalam komunitas/kelompok kategorial di gereja. Bagiku, Tuhan sungguh nyata dan hanya bisa disadari kehadiranNya ketika, kita sedang berada di titik terendah dalam hidup ini.

Gempa 28 Maret 2005 menjadi awal perjalananku bersama Bapa yang kekal yang selalu setia untuk hadir melalui orang-orang baik yang ada disekelilingku, yang mengajariku betapa berharganya kehidupan ini dan patut dipergunakan sebagai ajang untuk mengejar mahkota surgawi.

Semoga semua orang yang telah meninggal dalam bencana gempa Nias sebelas tahun yang lalu; mendapat rahmat pengampunan dari Allah Bapa di tahun kerahiman ini; agar semuanya mendapat tempat di kerajaanNya dan mendapatkan kebangkitan badan kelak.

Semoga... Amin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar